بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Nama Sekolah ini di ambil dari nama Mazhab umat islam dan juga dari nama Imam Besar Islam yaitu Imam besar Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muththalibi al-Qurasyi ( Arab : أبو عبد الله محمد بن إدريس الشافعيّ المطَّلِبيّ القرشيّ) atau singkatnya Imam Asy-Syafi'i ( Ashkelon , Gaza, Palestina , 150 H/767 M - Fusthat , Mesir , 204 H/819 M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i . Imam Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah , ia termasuk dalam Bani Muththalib , yaitu keturunan dari al-Muththalib , saudara dari Hasyim , yang merupakan kakek Muhammad .
Saat usia 13 tahun, Imam Syafi'i dikirim ibunya untuk pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik . Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi'i . Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.”
Kelahiran dan kehidupan keluarga
Kelahiran
Pada saat itu Fatimah al-Azdiyyah sedang mengandung, Idris bin Abbas
gembira dengan hal ini, lalu ia berkata, "Jika engkau melahirkan
seorang putra, maka akan kunamakan Muhammad, dan akan aku panggil
dengan nama salah seorang kakeknya yaitu Syafi'i bin Asy-Syaib."
Akhirnya Fatimah melahirkan di Gaza, dan
terbuktilah apa yang dicita-citakan ayahnya. Anak itu dinamakan
Muhammad, dan dipanggil dengan nama "asy-Syafi'i".
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza,
Palestina
, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia
lahir di
Asqalan
; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut
para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana
pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni
yang bernama
Imam Abu Hanifah
.
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan
pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah
dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu
‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama
Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun
berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i."
Nasab
Idris, ayah Imam Syafi'i tinggal di tanah Hijaz, ia merupakan keturunan
dari
al-Muththalib
, jadi dia termasuk ke dalam
Bani Muththalib
. Nasab Dia adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin
Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin
Al-Mutthalib bin
Abdulmanaf
bin
Qushay
bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin
Fihr
bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas
bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Nasabnya bertemu dengan
Rasulullah
di
Abdul-Manaf
.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin
Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek
Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’,
dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama
As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu
`anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga
terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi.
Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani
Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang
melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
“ | Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil dia menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan dia. | ” |
— HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9
hal. 65 - 66
|
Masa belajar
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang
ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di
sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair,
pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya
mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy
yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin
Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih
berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq
Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah
menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar
fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin
khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian dia juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga
belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan
juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr
Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak
lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya
dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’
fiqih sebagaimana tersebut di atas.
Belajar di Madinah
Kemudian ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin
Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya
dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah,
Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di majelisnya ini, Imam Syafi’i menghapal dan memahami dengan cemerlang
kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam
Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat
terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan
bin Uyainah di Makkah.
Imam Syafi’i menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan
pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin
Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.”
Juga ia menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila
datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di
majelis itu.” Ia juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam
Malik sehingga ia menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat
setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Ia juga menyatakan:
“Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah
pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataannya di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang
paling ia kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin
Uyainah. Di samping itu, Imam Syafi’i juga duduk menghafal dan memahami
ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin
Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi.
Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya.
Tetapi sayang, gurunya yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta
dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab
Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai
kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah
terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir
hayatnya, ia tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini
dalam berbagai periwayatan ilmu.
Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana.
Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh dia ini seperti:
Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang
lainnya. Dari Yaman, dia melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di
Iraq dan di kota ini dia banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin
Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga dia mengambil ilmu
dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak
lagi yang lainnya.
Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu
dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan
Khalifah Ar Rasyid.
Di Mesir
Di Mesir Imam Syafi'i bertemu dengan murid Imam Malik yakni Muhammad
bin Abdillah bin Abdil Hakim. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab
lamanya (qaul qadim). Kemudian dia pindah ke Mesir tahun 200 H dan
menuliskan madzhab baru (qaul jadid). Di sana dia wafat sebagai
syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
Karya tulis
Ar-Risalah
Salah satu karangannya adalah “Ar-risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Dia adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”
Mazhab Syafi'i
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dia juga tidak
mengambil
Istihsan
(menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak
maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i
mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah
menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah
nashirussunnah (pembela sunnah),”
Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah
terdengar sedikitpun dia bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan
kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan dia benci kepada Ahlil Kalam
(maksudnya adalah golongan
Ahwiyyah atau pengikut hawa nafsu yang juga digelari sebagai
Ahlul-Ahwa’
seperti al-Mujassimah, al-Mu'tazilah, Jabbariyyah dan yang sebagainya) dan Ahlil Bid’ah.”
Dia bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin
‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.” Imam Asy-Syafi`i
juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah
pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya
diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan
beralih kepada ilmu kalam (ilmu falsafah dan logika yang digunakan oleh
golongan Ahwiyyah)”
Dia mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan
oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu dia banyak
diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam
berbagai disiplin ilmu. Bahkan dia pelopor dalam menulis di bidang ilmu
Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang
fiqih, dia menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya
dan alimnya. Juga dia menulis kitab Jima’ul Ilmi.
Dia mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:
- Ahmad bin Hanbal , Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.
- Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
- Ishaq bin Rahawaih,
- Harmalah bin Yahya
- Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
- Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.
Al-Hujjah
Dalam masalah Al-Qur’an, dia Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah Kalamullah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.
Al-Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka buanglah perkataanku di belakang tembok,”
“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti
orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha
manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk
selamat dari (ucapan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan
hal-hal yang bermanfaat bagimu”.
"Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling
banyak benarnya.”
Dia berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih
maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”
Dia berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi Shalallahu 'alaihi
wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya
dariku.”
Dia mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang
menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka
ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”
Akhir Hayat
Pada suatu hari, Imam Syafi'i terkena wasir, dan tetap begitu hingga
terkadang jika ia naik kendaraan darahnya mengalir mengenai celananya
bahkan mengenai pelana dan kaus kakinya. Wasir ini benar-benar
menyiksanya selama hampir empat tahun, ia menanggung sakit demi
ijtihadnya yang baru di Mesir, menghasilkan empat ribu lembar. Selain
itu ia terus mengajar, meneliti dialog serta mengkaji baik siang maupun
malam.
Pada suatu hari muridnya Al-Muzani masuk menghadap dan berkata,
"Bagamana kondisi Anda wahai guru?" Imam Syafi'i menjawab, "Aku telah
siap meninggalkan dunia, meninggalkan para saudara dan teman, mulai
meneguk minuman kematian, kepada Allah dzikir terus terucap. Sungguh,
Demi Allah, aku tak tahu apakah jiwaku akan berjalan menuju surga
sehingga perlu aku ucapkan selamat, atau sedang menuju neraka sehingga
aku harus berkabung?".
Setelah itu, dia melihat di sekelilingnya seraya berkata kepada mereka,
"Jika aku meninggal, pergilah kalian kepada wali (penguasa), dan
mintalah kepadanya agar mau memandikanku," lalu sepupunya berkata,
"Kami akan turun sebentar untuk salat." Imam menjawab, "Pergilah dan
setelah itu duduklah disini menunggu keluarnya ruhku." Setelah sepupu
dan murid-muridnya salat, sang Imam bertanya, "Apakah engkau sudah
salat?" lalu mereka menjawab, "Sudah", lalu ia minta segelas air, pada
saat itu sedang musim dingin, mereka berkata, "Biar kami campur dengan
air hangat," ia berkata, "Jangan, sebaiknya dengan air safarjal".
Setelah itu ia wafat. Imam Syafi'i wafat pada malam Jum'at menjelang
subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 Hijriyyah atau tahun 809
Miladiyyah pada usia 52 tahun.
Tidak lama setelah kabar kematiannya tersebar di Mesir hingga kesedihan
dan duka melanda seluruh warga, mereka semua keluar dari rumah ingin
membawa jenazah di atas pundak, karena dahsyatnya kesedihan yang
menempa mereka. Tidak ada perkataan yang terucap saat itu selain
permohonan rahmat dan ridha untuk yang telah pergi.
Sejumlah ulama pergi menemui wali Mesir yaitu Muhammad bin as-Suri bin
al-Hakam, memintanya datang ke rumah duka untuk memandikan Imam sesuai
dengan wasiatnya. Ia berkata kepada mereka, "Apakah Imam meninggalkan
hutang?", "Benar!" jawab mereka serempak. Lalu wali Mesir memerintahkan
untuk melunasi hutang-hutang Imam seluruhnya. Setelah itu wali Mesir
memandikan jasad sang Imam.
Jenazah Imam Syafi'i diangkat dari rumahnya, melewati jalan al-Fusthath
dan pasarnya hingga sampai ke daerah Darbi as-Siba, sekarang jalan
Sayyidah an-Nafisah. Dan, Sayyidah Nafisah meminta untuk memasukkan
jenazah Imam ke rumahnya, setelah jenazah dimasukkan, dia turun ke
halaman rumah kemudian salat jenazah, dan berkata, "Semoga Allah
merahmati asy-Syafi'i, sungguh ia benar-benar berwudhu dengan baik."
Jenazah kemudian dibawa, sampai ke tanah anak-anak Ibnu Abdi al-Hakam,
disanalah ia dikuburkan, yang kemudian terkenal dengan Turbah
asy-Syafi'i sampai hari ini, dan disana pula dibangun sebuan masjid
yang diberi nama Masjid asy-Syafi'i. Penduduk Mesir terus menerus
menziarahi makam sang Imam sampai 40 hari 40 malam, setiap penziarah
tak mudah dapat sampai ke makamnya karena banyaknya peziarah.
Referensi
- ^ The Origins of Islamic Law: The Qurʼan, the Muwaṭṭaʼ and Madinan ʻAmal, by Yasin Dutton, pg. 16
1 Komentar
(ง︡'-'︠)ง
BalasHapus